Kamis, 03 Maret 2011

Manajemen Pakan

Variabel biaya selain FCR seperti harga DOC, dan OVK (Obat, Vaksin dan Kimia) merupakan faktor di luar jangkauan manajemen budidaya peternak. Sedangkan biaya operasional, sewa kandang dan tenaga kerja adalah biaya yang sejajar dengan banyaknya populasi ayam dan cenderung tidak dipengaruhi oleh kemampuan pengelolaan oleh peternak.
Sebagai gambaran, selisih FCR sebesar 0,05, bermakna selisih BEP Rp 240,-/kg panen (asumsi harga pakan Rp 4.800,-/kg). “Maka selisih FCR 0,05 itu sangat bermakna. Kekuatan peternak menghadapi tantangan harga justru diindiksikan dari FCR. Karena FCR bisa dikonversi untuk menggambarkan korelasi antara biaya dengan semua hal, mulai dari mortalitas, pertumbuhan, dan hasil panen,” kata Hari. 
Maka lumrah jika dengan lantang Pardjuni menyatakan,”Siapapun yang BEP-nya paling rendah, dia yang akan menang.” Di saat harga pasar tinggi, ia mendapat keuntungan lebih banyak sehingga memiliki lebih banyak saving. Sedangkan saat harga pasar jatuh, ia telah memiliki lebih banyak saving dan memiliki selisih kerugian yang paling ringan dibanding yang lain. 
Dari sinilah perdebatan memilih efisien (baca: irit biaya di depan) atau mengejar performa di akhir. BEP yang lebih rendah akan diperoleh jika angka FCR lebih kecil pula. Padahal angka FCR yang kecil (representasi interaksi optimal antara potensi genetik ayam /internal dengan faktor eksternal) hanya akan dihasilkan oleh sapronak berkualitas diimbangi dengan manajemen budidaya yang prima. “Dan sapronak yang bermutu identik dengan biaya yang lebih besar,” kata Hari.
Namun drh Warih Wardono Technical Support & Lab Services JCI Jateng memberi catatan, mengejar BEP dengan mencari performa terbaik sebagaimana diatas juga harus dikompromikan dengan preferensi pasar atas spesifikasi berat panen. “Dalam hitungan, panen pada bobot 1,8 kg dengan FCR 1,6 kurang efisien alias lebih tinggi BEP-nya dibanding panen di 2,0 kg dengan FCR 1,7. Tapi jika pasar menghendaki bobot ayam 1,8 kg/ek, mau tak mau peternak harus mengikutinya,” terangnya. Sebab, ayam berbobot tak sesuai kehendak pasar harganya lebih rendah.
Sapronak Berkualitas
Menurut Technical Sales Representative Multibreeder Adirama Indonesia area Jateng Ir Otto Hascarya, pilihan DOC dan pakan yang berkualitas akan mempermudah mencapai performa yang optimal. Ini karena porsi keduanya dalam biaya produksi yang mencapai 90% (70% pakan dan 20% DOC). “Tentu didukung manajemen yang baik,” tegasnya. Warih menyatakan beberapa kali menjumpai peternak yang menggunakan sapronak berkualitas tetap saja panennya jeblok karena kelalaian dalam manejemen. 
Otto dan Warih menyatakan, DOC grade rendah tidak berarti kualitas rendah. Semua DOC berlabel grade apapun yang dilepas ke customer telah memenuhi standar. Yang berbeda hanya umur induknya. Otto menerangkan, standar yang dimaksud adalah bobot badan, tingkat kesehatan, tidak cacat, dan pusar normal. Namun keduanya tidak mau berkomentar tentang kualitas dan performa DOC tanpa label / box polos. “Bukan porsi kami membicarakan itu,” tepisnya.
Menurut Hari Wibowo, dengan manajemen pemeliharaan yang tepat oleh peternak berkemampuan ‘lebih’, pemberian suplemen dan pakan yang bagus, DOC berkelas lebih rendah (tapi masih memenuhi syarat) bisa menghasilkan performa layaknya sapronak (DOC dan pakan) yang bermutu lebih baik.
Manajemen Prima
Ditemui TROBOS di katornya, drh Zahrul Anam Area Supervisor Sanbe Vet & Aqua Jogjakarta menguraikan inti dari manajemen budidaya yang prima adalah memenuhi kebutuhan ayam untuk hidup dan tumbuh optimal. Selama pemeliharaan, ayam merasa enak, nyaman dan sehat. Saat masih kecil ayam butuh hangat, dan selanjutnya ia justru butuh sejuk. Maka saat dibuatlah perindukan / brooder pada fase awal pemeliharaan.
“Atas definisi tadi juga orang berpikir membuat kandang senyaman mungkin dengan closed house,” terangnya. Kandang semacam itu menurut Zahrul memang mahal tapi membuat kapasitas terpasang juga meningkat. “Kalau kandang biasa 7-10 ek/m2, di closed house bisa 14 – 18 ek/m2. Selain menghemat kandang hingga 50%, juga mempermudah tata lingkungan, mampu memanipulasi mikroklimat, dan mengeliminasi stres. Jadi biaya tinggi bukan berarti boros atau tidak efisien,” terangnya panjang lebar. 
Namun karena tidak semua peternak mampu ataupun mau menerapkan sistem ini, mereka harus mencari cara agar budidaya yang dilakukannya mendekati definisi tadi. Bisa jadi dengan mempertinggi kolong kandang agar amonia tidak ’naik’, membuat/sewa kandang di daerah yang nyaman tapi mudah di akses dan airnya bagus, dan mengkonstruksi atap yang tepat. 
Manajemen pemeliharan yang sempurna akan membantu menghasilkan performa yang sesuai potensi genetik ayam. “Salah satunya dilihat dari bobot badan, capaiannya sesuai dengan umur atau tidak,” kata Zahrul. Setiap tertinggal 1 ons (100gr) peternak berpotensi kehilangan uang lebih dari Rp 1.000,-/ekor, sesuai dengan harga pasar saat itu. Padahal, menurut Otto ketinggalan 1 ons itu bisa saja terjadi hanya karena kelalaian yang menyebabkan pertumbuhan ayam tertinggal 10 gr di minggu pertama, seperti pengaturan penghangat dan mengawasi feed intake yang ditandai penuhnya tembolok di hari pertama.
Sarana produksi yang berkualitas tak akan banyak berguna jika manajemen budidaya yang diterapkan amburadul. Menurut Otto, manajemen yang bagus bisa menekan kerugian akibat deplesi dan biaya tambahan yang tak perlu. “Seperti manajemen pakan, kandang, kesehatan, dan brooding yang benar akan menekan kematian dan mengurangi belanja obat karena ayamnya sehat,” ungkapnya. Sebagaimana Otto, Warih mengakui meski ongkos operasional / manajemen budidaya hanya menempati 6% - 8% dalam struktur biaya, jika sedikit saja abai terhadap sisi detil di dalamnya akan berakibat fatal. 
Sebuah informasi menyebutkan, kasus tumbuh lambat (slow growth) pada broiler banyak ditemukan. Secara umum, slow growth yang dimaksud adalah pertumbuhan ayam tidak maksimal sesuai potensi genetik yang dimiliki. Tak hanya di wilayah Jawa Barat (Karawang, Purwakarta, Sukabumi dan sekitarnya). Di Jogjakarta, 2 peternak di wilayah Sleman yang ditemui TROBOS mengaku mengalami slow growth dengan tingkat lumayan tinggi. 
Ayam terlihat sehat, bahkan lebih lincah daripada yang pertumbuhannya normal. “Seribu dari 12.500 broiler (8%) berumur 3 minggu lambat tumbuh. Padahal biasanya di bawah 5%. Bobot hanya 300 gram, normalnya 6-7 ons,” kata Tri Gunarni, pemilik kandang berkapasitas total 54.000 ekor. Ia menduga ini disebabkan DOC tidak baik mutunya. “Pemeliharaan yang saya lakukan tidak berubah, malah semakin baik karena semakin teliti dalam menangani brooding. Pakan yang digunakan pun seperti biasanya,” ungkapnya memperkuat dugaan. Pada periode sebelumnya, sarjana teknik kimia ini mengaku mendapatkan DOC kualitas terbaik sehingga persentase ayam kuntet tak sampai 3%.
Lebih parah lagi dialami Bambang Wirabumi. “Kandang saya berisi 12 ribu ekor, yang kerdil 17%. Tapi sudah dipanen periode kemarin,” ungkapnya. Saat dilakukan grading pada umur 2 minggu, bobot hanya 200 gram, sementara normalnya 450 gram. “Kalau di kisaran 2-3% biasanya dikeluarkan/culling. Lha ini banyak gitu, kalau dianggap sebagai mortalitas saya malah semakin rugi,” sesalnya. 
Tri maupun Wirabumi sama-sama menyatakan tidak ada yang bisa dilakukan kecuali culling. “Memisahkannya dalam sekat tersendiri hanya menolong 10% - 20% saja. Yang lain tetap saja kerdil dan membengkakkan FCR. Mempertahankan mereka dalam sekat itu hanya mengganti biaya DOC,” terang Tri. Ia berharap pada saat panen 35 hari, bobot si kerdil dapat mencapai 1,2 – 1,4 kg /ekor. 
Sedikit berbeda, Bambang merasa putus asa sehingga ‘membuang’ si kerdil ke kolong kandang, dan membiarkannya memakan remah-remah pakan yang jatuh. “Supaya FCR tidak bobol tapi tetap dapat ganti uang kuthuk,” kata peternak berkapasitas 50 ribu ekor ini. Saat panen, ‘ayam kolong’ ini bobotnya hanya 500 – 600 gram.
Bukan Kasus Besar
Arif Rahmat SPt, Technical Representative PT Mulia Jaya Prima Farma wilayah Jateng- DIY, sebuah perusahaan distributor obat hewan, menyatakan ayam tumbuh lambat memang selalu ada di kandang meski kecil. “Sekarang ini bukan kasus besar. Meskipun demikian, kita memang tetap perlu waspada,” tandasnya. Menurutnya kasus massal broiler kerdil / tumbuh lambat terakhir kali terjadi pada tahun lalu. “Tetapi penyebabnya telah diketahui. Saat itu peternak terpaksa menggunakan DOC yang kurang terjamin kualitasnya akibat permintaan DOC yang melonjak,” tuturnya. Akibatnya, target bobot panen tak tercapai disertai jebolnya FCR.
Hal senada dikemukakan oleh Didyk Agung Suwoko SPt dan Dedi Iswantono SPt dari PT Primatama Karya Persada wilayah Jogjakarta. “Dalam satu kandang ada yang kecil 2 % itu wajar. Sebab manajemen pemeliharaan broiler yang sedemikian kompleks tentu tak bisa dipenuhi semua oleh peternak,” ungkap mereka saling menguatkan. Sedangkan kasus slow growth menurut mereka sudah lama tidak terdengar di wilayah kerjanya, apalagi di perusahaan kemitraan yang dikelolanya.
Arif menegaskan, kasus lambat tumbuh yang dialami 2 peternak di Sleman itu kemungkinan disebabkan DOC ataupun manajemen pemeliharaan di fase awal yang kurang baik. “Kalau masalahnya di pakan, semua ayam di kandang akan mengalami lambat tumbuh. Dan akan dialami peternak lainnya,” ungkapnya. Dugaan senada pun diungkapkan oleh Didyk. “Untuk mengetahui apakah penyebabnya dari pakan, cukup mengecek performa peternak yang menggunakan pakan dalam satu pengiriman, terutama yang bernomor seri / batch sama,” terang lulusan alumni Fapet Unibraw ini.
Kasus slow growth menurut Dr drh AETH Wahyuni Msi, pengajar Mikrobiologi FKH UGM, merupakan gejala fisik yang sangat kompleks penyebabnya. Bisa terjadi karena faktor internal ayam sejak masih dalam telur maupun faktor eksternal dari manajemen. Lebih lanjut Wahyuni menegaskan faktor DOC masih berperan signifikan pada kasus slow growth, baik berupa penyimpangan genetis, usia induk, lolosnya DOC yang seharusnya di culling di hatchery, penyakit ISS (infectious stunting syndrom), maupun efek samping transportasi jarak jauh. Sayangnya, efek dari faktor-faktor di atas kebanyakan baru terlihat setelah umur 10 – 14 hari. “Sangat sulit memilih DOC yang kelak akan kerdil. Paling-paling yang bisa dilakukan hanya mengeluarkan/culling DOC yang kurang sehat, seperti nafsu kurang makan, sayu, kaki kering, bobot terlalu kecil, ataupun infeksi umbilicus,” terangnya.
Wahyuni menyatakan, dugaan buruknya kualitas DOC ini ditelusuri dengan cara membandingkan performa pengguna DOC dari produsen yang sama dalam kisaran waktu yang sama. Maka sebelum terjadi, peternak harus ‘kritis’ dengan kondisi DOC yang diterimanya.

1 komentar:

  1. mas backgroudnya mbok di ganti... kalau item jadi gak kelihatan tulisannya... thanks

    BalasHapus