Variabel biaya selain FCR seperti harga DOC, dan OVK (Obat, Vaksin dan Kimia) merupakan faktor di luar jangkauan manajemen budidaya peternak. Sedangkan biaya operasional, sewa kandang dan tenaga kerja adalah biaya yang sejajar dengan banyaknya populasi ayam dan cenderung tidak dipengaruhi oleh kemampuan pengelolaan oleh peternak.
Sebagai gambaran, selisih FCR sebesar 0,05, bermakna selisih BEP Rp 240,-/kg panen (asumsi harga pakan Rp 4.800,-/kg). “Maka selisih FCR 0,05 itu sangat bermakna. Kekuatan peternak menghadapi tantangan harga justru diindiksikan dari FCR. Karena FCR bisa dikonversi untuk menggambarkan korelasi antara biaya dengan semua hal, mulai dari mortalitas, pertumbuhan, dan hasil panen,” kata Hari.
Maka lumrah jika dengan lantang Pardjuni menyatakan,”Siapapun yang BEP-nya paling rendah, dia yang akan menang.” Di saat harga pasar tinggi, ia mendapat keuntungan lebih banyak sehingga memiliki lebih banyak saving. Sedangkan saat harga pasar jatuh, ia telah memiliki lebih banyak saving dan memiliki selisih kerugian yang paling ringan dibanding yang lain.
Dari sinilah perdebatan memilih efisien (baca: irit biaya di depan) atau mengejar performa di akhir. BEP yang lebih rendah akan diperoleh jika angka FCR lebih kecil pula. Padahal angka FCR yang kecil (representasi interaksi optimal antara potensi genetik ayam /internal dengan faktor eksternal) hanya akan dihasilkan oleh sapronak berkualitas diimbangi dengan manajemen budidaya yang prima. “Dan sapronak yang bermutu identik dengan biaya yang lebih besar,” kata Hari.
Namun drh Warih Wardono Technical Support & Lab Services JCI Jateng memberi catatan, mengejar BEP dengan mencari performa terbaik sebagaimana diatas juga harus dikompromikan dengan preferensi pasar atas spesifikasi berat panen. “Dalam hitungan, panen pada bobot 1,8 kg dengan FCR 1,6 kurang efisien alias lebih tinggi BEP-nya dibanding panen di 2,0 kg dengan FCR 1,7. Tapi jika pasar menghendaki bobot ayam 1,8 kg/ek, mau tak mau peternak harus mengikutinya,” terangnya. Sebab, ayam berbobot tak sesuai kehendak pasar harganya lebih rendah.
Sapronak Berkualitas
Menurut Technical Sales Representative Multibreeder Adirama Indonesia area Jateng Ir Otto Hascarya, pilihan DOC dan pakan yang berkualitas akan mempermudah mencapai performa yang optimal. Ini karena porsi keduanya dalam biaya produksi yang mencapai 90% (70% pakan dan 20% DOC). “Tentu didukung manajemen yang baik,” tegasnya. Warih menyatakan beberapa kali menjumpai peternak yang menggunakan sapronak berkualitas tetap saja panennya jeblok karena kelalaian dalam manejemen.
Otto dan Warih menyatakan, DOC grade rendah tidak berarti kualitas rendah. Semua DOC berlabel grade apapun yang dilepas ke customer telah memenuhi standar. Yang berbeda hanya umur induknya. Otto menerangkan, standar yang dimaksud adalah bobot badan, tingkat kesehatan, tidak cacat, dan pusar normal. Namun keduanya tidak mau berkomentar tentang kualitas dan performa DOC tanpa label / box polos. “Bukan porsi kami membicarakan itu,” tepisnya.
Menurut Hari Wibowo, dengan manajemen pemeliharaan yang tepat oleh peternak berkemampuan ‘lebih’, pemberian suplemen dan pakan yang bagus, DOC berkelas lebih rendah (tapi masih memenuhi syarat) bisa menghasilkan performa layaknya sapronak (DOC dan pakan) yang bermutu lebih baik.
Manajemen Prima
Ditemui TROBOS di katornya, drh Zahrul Anam Area Supervisor Sanbe Vet & Aqua Jogjakarta menguraikan inti dari manajemen budidaya yang prima adalah memenuhi kebutuhan ayam untuk hidup dan tumbuh optimal. Selama pemeliharaan, ayam merasa enak, nyaman dan sehat. Saat masih kecil ayam butuh hangat, dan selanjutnya ia justru butuh sejuk. Maka saat dibuatlah perindukan / brooder pada fase awal pemeliharaan.
“Atas definisi tadi juga orang berpikir membuat kandang senyaman mungkin dengan closed house,” terangnya. Kandang semacam itu menurut Zahrul memang mahal tapi membuat kapasitas terpasang juga meningkat. “Kalau kandang biasa 7-10 ek/m2, di closed house bisa 14 – 18 ek/m2. Selain menghemat kandang hingga 50%, juga mempermudah tata lingkungan, mampu memanipulasi mikroklimat, dan mengeliminasi stres. Jadi biaya tinggi bukan berarti boros atau tidak efisien,” terangnya panjang lebar.
Namun karena tidak semua peternak mampu ataupun mau menerapkan sistem ini, mereka harus mencari cara agar budidaya yang dilakukannya mendekati definisi tadi. Bisa jadi dengan mempertinggi kolong kandang agar amonia tidak ’naik’, membuat/sewa kandang di daerah yang nyaman tapi mudah di akses dan airnya bagus, dan mengkonstruksi atap yang tepat.
Manajemen pemeliharan yang sempurna akan membantu menghasilkan performa yang sesuai potensi genetik ayam. “Salah satunya dilihat dari bobot badan, capaiannya sesuai dengan umur atau tidak,” kata Zahrul. Setiap tertinggal 1 ons (100gr) peternak berpotensi kehilangan uang lebih dari Rp 1.000,-/ekor, sesuai dengan harga pasar saat itu. Padahal, menurut Otto ketinggalan 1 ons itu bisa saja terjadi hanya karena kelalaian yang menyebabkan pertumbuhan ayam tertinggal 10 gr di minggu pertama, seperti pengaturan penghangat dan mengawasi feed intake yang ditandai penuhnya tembolok di hari pertama.
Sarana produksi yang berkualitas tak akan banyak berguna jika manajemen budidaya yang diterapkan amburadul. Menurut Otto, manajemen yang bagus bisa menekan kerugian akibat deplesi dan biaya tambahan yang tak perlu. “Seperti manajemen pakan, kandang, kesehatan, dan brooding yang benar akan menekan kematian dan mengurangi belanja obat karena ayamnya sehat,” ungkapnya. Sebagaimana Otto, Warih mengakui meski ongkos operasional / manajemen budidaya hanya menempati 6% - 8% dalam struktur biaya, jika sedikit saja abai terhadap sisi detil di dalamnya akan berakibat fatal.
Sebuah informasi menyebutkan, kasus tumbuh lambat (slow growth) pada broiler banyak ditemukan. Secara umum, slow growth yang dimaksud adalah pertumbuhan ayam tidak maksimal sesuai potensi genetik yang dimiliki. Tak hanya di wilayah Jawa Barat (Karawang, Purwakarta, Sukabumi dan sekitarnya). Di Jogjakarta, 2 peternak di wilayah Sleman yang ditemui TROBOS mengaku mengalami slow growth dengan tingkat lumayan tinggi.
Ayam terlihat sehat, bahkan lebih lincah daripada yang pertumbuhannya normal. “Seribu dari 12.500 broiler (8%) berumur 3 minggu lambat tumbuh. Padahal biasanya di bawah 5%. Bobot hanya 300 gram, normalnya 6-7 ons,” kata Tri Gunarni, pemilik kandang berkapasitas total 54.000 ekor. Ia menduga ini disebabkan DOC tidak baik mutunya. “Pemeliharaan yang saya lakukan tidak berubah, malah semakin baik karena semakin teliti dalam menangani brooding. Pakan yang digunakan pun seperti biasanya,” ungkapnya memperkuat dugaan. Pada periode sebelumnya, sarjana teknik kimia ini mengaku mendapatkan DOC kualitas terbaik sehingga persentase ayam kuntet tak sampai 3%.
Lebih parah lagi dialami Bambang Wirabumi. “Kandang saya berisi 12 ribu ekor, yang kerdil 17%. Tapi sudah dipanen periode kemarin,” ungkapnya. Saat dilakukan grading pada umur 2 minggu, bobot hanya 200 gram, sementara normalnya 450 gram. “Kalau di kisaran 2-3% biasanya dikeluarkan/culling. Lha ini banyak gitu, kalau dianggap sebagai mortalitas saya malah semakin rugi,” sesalnya.
Tri maupun Wirabumi sama-sama menyatakan tidak ada yang bisa dilakukan kecuali culling. “Memisahkannya dalam sekat tersendiri hanya menolong 10% - 20% saja. Yang lain tetap saja kerdil dan membengkakkan FCR. Mempertahankan mereka dalam sekat itu hanya mengganti biaya DOC,” terang Tri. Ia berharap pada saat panen 35 hari, bobot si kerdil dapat mencapai 1,2 – 1,4 kg /ekor.
Sedikit berbeda, Bambang merasa putus asa sehingga ‘membuang’ si kerdil ke kolong kandang, dan membiarkannya memakan remah-remah pakan yang jatuh. “Supaya FCR tidak bobol tapi tetap dapat ganti uang kuthuk,” kata peternak berkapasitas 50 ribu ekor ini. Saat panen, ‘ayam kolong’ ini bobotnya hanya 500 – 600 gram.
Bukan Kasus Besar
Arif Rahmat SPt, Technical Representative PT Mulia Jaya Prima Farma wilayah Jateng- DIY, sebuah perusahaan distributor obat hewan, menyatakan ayam tumbuh lambat memang selalu ada di kandang meski kecil. “Sekarang ini bukan kasus besar. Meskipun demikian, kita memang tetap perlu waspada,” tandasnya. Menurutnya kasus massal broiler kerdil / tumbuh lambat terakhir kali terjadi pada tahun lalu. “Tetapi penyebabnya telah diketahui. Saat itu peternak terpaksa menggunakan DOC yang kurang terjamin kualitasnya akibat permintaan DOC yang melonjak,” tuturnya. Akibatnya, target bobot panen tak tercapai disertai jebolnya FCR.
Hal senada dikemukakan oleh Didyk Agung Suwoko SPt dan Dedi Iswantono SPt dari PT Primatama Karya Persada wilayah Jogjakarta. “Dalam satu kandang ada yang kecil 2 % itu wajar. Sebab manajemen pemeliharaan broiler yang sedemikian kompleks tentu tak bisa dipenuhi semua oleh peternak,” ungkap mereka saling menguatkan. Sedangkan kasus slow growth menurut mereka sudah lama tidak terdengar di wilayah kerjanya, apalagi di perusahaan kemitraan yang dikelolanya.
Arif menegaskan, kasus lambat tumbuh yang dialami 2 peternak di Sleman itu kemungkinan disebabkan DOC ataupun manajemen pemeliharaan di fase awal yang kurang baik. “Kalau masalahnya di pakan, semua ayam di kandang akan mengalami lambat tumbuh. Dan akan dialami peternak lainnya,” ungkapnya. Dugaan senada pun diungkapkan oleh Didyk. “Untuk mengetahui apakah penyebabnya dari pakan, cukup mengecek performa peternak yang menggunakan pakan dalam satu pengiriman, terutama yang bernomor seri / batch sama,” terang lulusan alumni Fapet Unibraw ini.
Kasus slow growth menurut Dr drh AETH Wahyuni Msi, pengajar Mikrobiologi FKH UGM, merupakan gejala fisik yang sangat kompleks penyebabnya. Bisa terjadi karena faktor internal ayam sejak masih dalam telur maupun faktor eksternal dari manajemen. Lebih lanjut Wahyuni menegaskan faktor DOC masih berperan signifikan pada kasus slow growth, baik berupa penyimpangan genetis, usia induk, lolosnya DOC yang seharusnya di culling di hatchery, penyakit ISS (infectious stunting syndrom), maupun efek samping transportasi jarak jauh. Sayangnya, efek dari faktor-faktor di atas kebanyakan baru terlihat setelah umur 10 – 14 hari. “Sangat sulit memilih DOC yang kelak akan kerdil. Paling-paling yang bisa dilakukan hanya mengeluarkan/culling DOC yang kurang sehat, seperti nafsu kurang makan, sayu, kaki kering, bobot terlalu kecil, ataupun infeksi umbilicus,” terangnya.
Wahyuni menyatakan, dugaan buruknya kualitas DOC ini ditelusuri dengan cara membandingkan performa pengguna DOC dari produsen yang sama dalam kisaran waktu yang sama. Maka sebelum terjadi, peternak harus ‘kritis’ dengan kondisi DOC yang diterimanya.
Ayam Broiler modern
Kamis, 03 Maret 2011
Penyakit pernafasan pada ayam
Feed cost/kg BB
Pakan ?mahal? biasanya memiliki density (istilah dalam nutrisi untuk menggambarkan tingkat kepadatan nutrisi) yang tinggi. ?Kalaupun mahal, bukanlah masalah bila nutrisi yang terkandung sebagian besar terserap dan terkonversi oleh tubuh ayam menjadi daging,? Ferry berargumen. Karena itu, saat ini para ahli nutrisi lebih menggunakan nutrition convertion rate (rasio konversi nutrisi), bukan lagi feed convertion ratio (rasio konversi pakan=FCR). Pasalnya, jelas Ferry, FCR bersifat relatif. Semakin tinggi density suatu pakan maka FCR akan turun, demikian sebaliknya. Jadi FCR tidak sepenuhnya menggambarkan prestasi.
Pria yang bertanggung jawab atas formula pakan di Japfa Comfeed ini menambahkan, pembacaan FCR yang selama ini menjadi parameter utama melihat efisiensi dalam budidaya harus dilihat lebih cermat lagi. FCR tidak berdiri sendiri, melainkan dilihat bersama dengan berat badan waktu panen dan mortalitas. Hasil gambarannya akan lebih objektif.
Ferry lebih mengutamakan efisiensi nutrisi. Menurutnya, perhitungan yang lebih tepat dan mulai banyak dianut sebagai patokan di negara maju adalah besaran ME (metabolized energy) yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kg berat badan (BB) ayam. Atau berapa protein yang diperlukan untuk menjadikan satu kg ayam. Sehingga ukuran melihat efisiensi pakan adalah ME/kg BB atau gram protein/kg BB.
Muara dari semuanya, Ferry jelas-jelas menegaskan, adalah rupiah. ?Bottom line-nya adalah feed cost/kg BB.? Jadi kalau dari aspek rupiah kuncinya adalah feed cost/kg BB, kalau dari aspek nutrisi kuncinya adalah nutrition eficiency ratio (rasio efisiensi nutrisi). Yang buntutnya adalah feed cost/kg BB. ?Artinya, jumlah pakan yang dimakan kali harga, dibagi kg BB ayam saat panen.?
Budi Tangendjaja, ahli nutrisi ternak dari Balitnak (Balai Penelitian Ternak) pun menggambarkan tren penghitungan efisien di masa depan. Penghitungannya, berapa rupiah yang diperlukan untuk sampai menghasilkan satu kg karkas atau satu kg daging ayam, ?Bukan lagi berat ayam hidup.? Tapi ia mengatakan, prinsip tersebut baru dapat dilakukan oleh perusahaan yang menguasai aspek dari hulu sampai hilir, istilahnya vertical integration. Tak harus perusahaan besar. Saat ini beberapa peternak mulai mengintegrasikan usaha budidayanya dengan pembibitan, pabrik pakan sampai pemotongan. Sistem yang seperti ini, menurut Budi memungkinkan melakukan efisiensi penghitungan sebagaimana ia maksud. Bagi peternak yang hanya bermain di pembesaran (komersil) tidak mungkin menghitung demikian. ?Selama masih fragmented (parsial) sulit,? komentarnya.
Dua Minggu Pertama
Menurut Ferry, peternak yang cerdas tak melulu mempermasalahkan harga pakan mahal, tapi lebih melihat berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan 1 kg BB ayam. ?Keuntungan itu adanya di ujung usaha,? tandasnya. Persoalannya, di ujung usaha ini harga jual ayam kerap fluktuatif. Sehingga kendati dihasilkan bobot tercepat dengan harga termurah tapi tetap tak sepadan (rugi) karena harga jual sedang jatuh. Sering terjadi harga jual broiler jatuh, sementara pakan tetap atau bahkan naik. Maka yang dapat dilakukan peternak adalah menekan kerugian.
Kalaupun langkah mengganti pakan harus ditempuh, Ferry menyarankan jangan melakukannya di umur 2 minggu pertama. Dikatakannya, masa ini sebagai masa kritis bagi ayam memaksimalkan kapasitas produksi sesuai kualitas genetiknya. Capaian bobot di minggu I setidaknya 200 gram dan 520 gram di minggu II adalah standar baku. ?Itu hukumnya wajib. Kalau di bawah standar, dipastikan selanjutnya ketinggalan,? kata Ferry.
Ferry menyodorkan data riset, dua perlakuan yang berbeda diterapkan pada dua kelompok broiler. Satu kelompok diberikan pakan dengan kepadatan tinggi, kelompok lain pakan yang dikonsumsi memiliki kepadatan rendah. Rata-rata bobot yang diperoleh bisa dipastikan akan berbeda. Selepas minggu II semuanya diberikan pakan yang sama, bobot saat panen menunjukkan kelompok pertama memberikan hasil lebih tinggi.
Artinya, kata Ferry, 2 minggu pertama masa hidup ayam menentukan perkembangan selanjutnya. Sekalipun diupayakan pemberian pakan kualitas tinggi pasca minggu II, kalau ayam telanjur di masa kritis tersebut tidak tumbuh optimal dipastikan tidak berhasil. ?Di 14 hari pertama pakan tidak bisa main-main, berikan yang terbaik sesuai kebutuhan genetik ayam untuk tumbuh,? ia mewanti-wanti. Kalau awalnya sudah ketinggalan, maka selanjutnya bakal terus ketinggalan. Maka efisiensi menurut Ferry adalah bagaimana memaksimalkan 2 minggu pertama agar mendapatkan feed cost/BB yang paling murah di umur panen.
Lakukan Selepas Minggu II
Sebagai siasat bertahan, di waktu harga jual tak bersahabat, bila tak ada jalan lain Ferry mengatakan, ?Bisa saja selepas minggu II pakan diganti dengan spec lebih rendah.? Pakan density rendah akan mengurangi kecepatan tumbuh ayam. Karena semakin cepat tumbuh ayam, ukuran ayam semakin besar. Artinya makin banyak biaya dikeluarkan, padahal harga ayam sedang jatuh. Kerugian akan semakin besar. Jadi pada masa itu hasilkan ayam ukuran kecil supaya kerugian yang diderita relatif kecil juga.
?Saya bilang bukan menghapus rugi, tapi mengurangi kerugian,? tegasnya. Tetapi sekali lagi ia menggarisbawahi, di umur 14 hari pertama target berat badan minimal harus tercapai terlebih dahulu. Melesetnya pencapaian pada masa itu, kerugian yang diderita peternak tidak kecil. ?Toh pakan sepanjang umur itu belum besar. Hanya berkisar 500 gram/ekor sepanjang 2 minggu,? tambahnya.
Terkesan dari pandangan Ferry, yang penting masih untung di akhir usaha, tidak ada yang dapat dilakukan di saat pakan tinggi. Ia beralasan, selama bahan baku naik tak ada yang dapat dilakukan. ?Lha kalau jagung dan kedelai naik, mau apalagi, pakan terpaksa naik. Semua ditentukan pasar,? ia berkilah. Menurutnya, kalau maunya pakan murah dan stabil, bahan baku harus tersedia cukup di dalam negeri. ?Jagung sudah lumayan, impornya kecil sekali bisa diabaikan sehingga ongkos transpor juga bisa ditekan. Tapi yang lain??
Efisiensi Formula dan Feeding System
Sementara Budi dalam kesempatannya bertandang ke TROBOS Juli lalu mengatakan beberapa hal dapat dilakukan dalam rangka penghematan pakan di tengah situasi harga pakan yang tinggi. Di satu sisi, feedmill (pabrikan pakan) melakukan efisiensi dalam formulasinya, di sisi lain feeding system (cara pemberian pakan) yang tepat harus dilakukan peternak untuk sampai pada biaya paling rendah di ujung usaha.
Terang Budi, feedmill selama ini sudah berpatokan pada least cost yang paling murah. Dalam soal penghematan, feedmill dituntut untuk mampu kreatif mencari bahan baku alternatif untuk menekan biaya. ?Tidak harus yang ada dalam negeri, dari mana saja,? ujar Budi. Ia tengah giat mengenalkan DDGS (semacam ampas jagung hasil samping pengolahan ethanol) yang harganya relatif rendah. ?Cuma US$ 250/ton,? sebutnya. Beberapa feedmill yang progresif mau menggunakannya dalam jumlah tertentu dan terbukti mengurangi biaya.
Yang berikutnya, melakukan review (telaah ulang) atas batasan-batasan jumlah penggunaan bahan baku. ?Batasan kadang mengganjal, padahal secara nutrisi angkanya memungkinkan lebih besar dari angka patokan yang selama ini dianut,? jelas Budi. Ke tiga, mempertanyakan kembali seberapa jauh feedmill mampu teliti menilai kandungan nutrisi dari sebuah bahan baku. Misal bungkil kedelai yang kandungan proteinnya 48% dinilai oleh feedmill 47%. Dalam formulasi, 1% akan sangat bermakna terhadap rupiah. Ketepatan tera ini mampu mencegah dari formulasi yang ?boros?. ?Bagaimana caranya se-presisi mungkin,? tandas Budi. Kemudian soal bahan tambahan (feed additive), harus dicek kembali mana saja yang memang menguntungkan memberikan hasil signifikan pada ketersediaan nutrisi.
?Yang tidak terbukti berfungsi nyata, feedmill harus coret dari daftar,? tambahnya. Bagi imbuhan yang memang dapat memberikan penghematan melalui pengurangan bahan baku dan secara rupiah menekan biaya, tidak masalah. Tetapi sebagian imbuhan ini menurut Budi masih perlu dipertanyakan efektivitasnya dalam menekan biaya pakan. Penambahan ini bervariasi dari Rp 15 ? 100 per kg, ?Itu biaya yang harus dihitung, kalau tidak bermanfaat, keluarkan dari daftar!?
Enzim, misalnya. Harus dipertanyakan secara kritis, enzim tersebut benar-benar bekerja atau tidak terhadap bahan baku dalam pakan. Juga harus dibuktikan secara nyata enzim tersebut mampu menambah nutrisi dalam pakan yang akan diserap tubuh ayam. Budi mencontohkan enzim phytase diperlukan dan bekerja dalam pakan melepaskan fosfor dari ikatan asam phytate sehingga dapat diserap tubuh, tapi harus jeli dari sekian banyak phytase yang ada di pasaran mana yang mampu signifikan menyediakan fosfor siap serap dalam pakan. Kalau memang bekerja baik, silahkan gunakan karena akan membantu mengurangi penggunaan MCP (monocalciumphosphate) atau DCP (dicalciumphosphate) dalam pakan yang harganya cukup tinggi. Menurut dia, enzim memiliki kerja yang bervariasi dari yang bekerja baik, sedang, sampai tidak bekerja sama sekali.
Widodo baru saja memulai usaha beternak ayam pedaging (broiler). Lelaki muda asal Temanggung ini belum memiliki lahan khusus untuk bisnis barunya ini. Dia menggunakan lahan kosong di halaman samping rumahnya. Populasinya tak banyak, hanya 1000 ekor. Walau demikian, Widodo tetap was-was jika bisnisnya nanti akan ditentang warga.
Sebab, dia tinggal di pemukiman yang padat penduduk. Ini artinya, dia tak bisa sekadar mengelola limbah ternaknya sebaik mungkin agar tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Lebih dari itu, dia juga harus menekan serendah mungkin polusi udara akibat bau tak sedap yang ditimbulkan dari usaha ternaknya tersebut.
Widodo hanyalah satu dari sekian banyak peternak yang masih dipusingkan dengan masalah polusi bau. Dan ini bukan masalah sepele. Sebab jika dibiarkan berlarut-larut, bau tidak hanya akan menimbulkan masalah polusi udara, tapi juga akan menurunkan produktivitas ternaknya. Bisa-bisa sebelum mencapai untung sudah buntung duluan.
Ini sangat masuk akal. Manajer Umum PT Alltech Biotechnology Indonesia, Isra Noor menyatakan bahwa kandang yang bau biasanya disebabkan oleh kandungan amonia yang tinggi dari produksi kandang. Amonia dalam konsentrasi kecil hanya akan berdampak pada bau yang tidak sedap. Sebaliknya dalam konsentrasi besar, amonia menyebabkan persoalan pernafasan dan iritasi.
?Amonia yang tinggi di kandang akan sangat merugikan peternak karena menurunkan produksi ayam baik broiler maupun layer (petelur). Kadar amonia yang tinggi di kandang juga memungkinkan terjadinya peningkatan angka kematian akibat berbagai penyakit pernafasan,
Pakan ?mahal? biasanya memiliki density (istilah dalam nutrisi untuk menggambarkan tingkat kepadatan nutrisi) yang tinggi. ?Kalaupun mahal, bukanlah masalah bila nutrisi yang terkandung sebagian besar terserap dan terkonversi oleh tubuh ayam menjadi daging,? Ferry berargumen. Karena itu, saat ini para ahli nutrisi lebih menggunakan nutrition convertion rate (rasio konversi nutrisi), bukan lagi feed convertion ratio (rasio konversi pakan=FCR). Pasalnya, jelas Ferry, FCR bersifat relatif. Semakin tinggi density suatu pakan maka FCR akan turun, demikian sebaliknya. Jadi FCR tidak sepenuhnya menggambarkan prestasi.
Pria yang bertanggung jawab atas formula pakan di Japfa Comfeed ini menambahkan, pembacaan FCR yang selama ini menjadi parameter utama melihat efisiensi dalam budidaya harus dilihat lebih cermat lagi. FCR tidak berdiri sendiri, melainkan dilihat bersama dengan berat badan waktu panen dan mortalitas. Hasil gambarannya akan lebih objektif.
Ferry lebih mengutamakan efisiensi nutrisi. Menurutnya, perhitungan yang lebih tepat dan mulai banyak dianut sebagai patokan di negara maju adalah besaran ME (metabolized energy) yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kg berat badan (BB) ayam. Atau berapa protein yang diperlukan untuk menjadikan satu kg ayam. Sehingga ukuran melihat efisiensi pakan adalah ME/kg BB atau gram protein/kg BB.
Muara dari semuanya, Ferry jelas-jelas menegaskan, adalah rupiah. ?Bottom line-nya adalah feed cost/kg BB.? Jadi kalau dari aspek rupiah kuncinya adalah feed cost/kg BB, kalau dari aspek nutrisi kuncinya adalah nutrition eficiency ratio (rasio efisiensi nutrisi). Yang buntutnya adalah feed cost/kg BB. ?Artinya, jumlah pakan yang dimakan kali harga, dibagi kg BB ayam saat panen.?
Budi Tangendjaja, ahli nutrisi ternak dari Balitnak (Balai Penelitian Ternak) pun menggambarkan tren penghitungan efisien di masa depan. Penghitungannya, berapa rupiah yang diperlukan untuk sampai menghasilkan satu kg karkas atau satu kg daging ayam, ?Bukan lagi berat ayam hidup.? Tapi ia mengatakan, prinsip tersebut baru dapat dilakukan oleh perusahaan yang menguasai aspek dari hulu sampai hilir, istilahnya vertical integration. Tak harus perusahaan besar. Saat ini beberapa peternak mulai mengintegrasikan usaha budidayanya dengan pembibitan, pabrik pakan sampai pemotongan. Sistem yang seperti ini, menurut Budi memungkinkan melakukan efisiensi penghitungan sebagaimana ia maksud. Bagi peternak yang hanya bermain di pembesaran (komersil) tidak mungkin menghitung demikian. ?Selama masih fragmented (parsial) sulit,? komentarnya.
Dua Minggu Pertama
Menurut Ferry, peternak yang cerdas tak melulu mempermasalahkan harga pakan mahal, tapi lebih melihat berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan 1 kg BB ayam. ?Keuntungan itu adanya di ujung usaha,? tandasnya. Persoalannya, di ujung usaha ini harga jual ayam kerap fluktuatif. Sehingga kendati dihasilkan bobot tercepat dengan harga termurah tapi tetap tak sepadan (rugi) karena harga jual sedang jatuh. Sering terjadi harga jual broiler jatuh, sementara pakan tetap atau bahkan naik. Maka yang dapat dilakukan peternak adalah menekan kerugian.
Kalaupun langkah mengganti pakan harus ditempuh, Ferry menyarankan jangan melakukannya di umur 2 minggu pertama. Dikatakannya, masa ini sebagai masa kritis bagi ayam memaksimalkan kapasitas produksi sesuai kualitas genetiknya. Capaian bobot di minggu I setidaknya 200 gram dan 520 gram di minggu II adalah standar baku. ?Itu hukumnya wajib. Kalau di bawah standar, dipastikan selanjutnya ketinggalan,? kata Ferry.
Ferry menyodorkan data riset, dua perlakuan yang berbeda diterapkan pada dua kelompok broiler. Satu kelompok diberikan pakan dengan kepadatan tinggi, kelompok lain pakan yang dikonsumsi memiliki kepadatan rendah. Rata-rata bobot yang diperoleh bisa dipastikan akan berbeda. Selepas minggu II semuanya diberikan pakan yang sama, bobot saat panen menunjukkan kelompok pertama memberikan hasil lebih tinggi.
Artinya, kata Ferry, 2 minggu pertama masa hidup ayam menentukan perkembangan selanjutnya. Sekalipun diupayakan pemberian pakan kualitas tinggi pasca minggu II, kalau ayam telanjur di masa kritis tersebut tidak tumbuh optimal dipastikan tidak berhasil. ?Di 14 hari pertama pakan tidak bisa main-main, berikan yang terbaik sesuai kebutuhan genetik ayam untuk tumbuh,? ia mewanti-wanti. Kalau awalnya sudah ketinggalan, maka selanjutnya bakal terus ketinggalan. Maka efisiensi menurut Ferry adalah bagaimana memaksimalkan 2 minggu pertama agar mendapatkan feed cost/BB yang paling murah di umur panen.
Lakukan Selepas Minggu II
Sebagai siasat bertahan, di waktu harga jual tak bersahabat, bila tak ada jalan lain Ferry mengatakan, ?Bisa saja selepas minggu II pakan diganti dengan spec lebih rendah.? Pakan density rendah akan mengurangi kecepatan tumbuh ayam. Karena semakin cepat tumbuh ayam, ukuran ayam semakin besar. Artinya makin banyak biaya dikeluarkan, padahal harga ayam sedang jatuh. Kerugian akan semakin besar. Jadi pada masa itu hasilkan ayam ukuran kecil supaya kerugian yang diderita relatif kecil juga.
?Saya bilang bukan menghapus rugi, tapi mengurangi kerugian,? tegasnya. Tetapi sekali lagi ia menggarisbawahi, di umur 14 hari pertama target berat badan minimal harus tercapai terlebih dahulu. Melesetnya pencapaian pada masa itu, kerugian yang diderita peternak tidak kecil. ?Toh pakan sepanjang umur itu belum besar. Hanya berkisar 500 gram/ekor sepanjang 2 minggu,? tambahnya.
Terkesan dari pandangan Ferry, yang penting masih untung di akhir usaha, tidak ada yang dapat dilakukan di saat pakan tinggi. Ia beralasan, selama bahan baku naik tak ada yang dapat dilakukan. ?Lha kalau jagung dan kedelai naik, mau apalagi, pakan terpaksa naik. Semua ditentukan pasar,? ia berkilah. Menurutnya, kalau maunya pakan murah dan stabil, bahan baku harus tersedia cukup di dalam negeri. ?Jagung sudah lumayan, impornya kecil sekali bisa diabaikan sehingga ongkos transpor juga bisa ditekan. Tapi yang lain??
Efisiensi Formula dan Feeding System
Sementara Budi dalam kesempatannya bertandang ke TROBOS Juli lalu mengatakan beberapa hal dapat dilakukan dalam rangka penghematan pakan di tengah situasi harga pakan yang tinggi. Di satu sisi, feedmill (pabrikan pakan) melakukan efisiensi dalam formulasinya, di sisi lain feeding system (cara pemberian pakan) yang tepat harus dilakukan peternak untuk sampai pada biaya paling rendah di ujung usaha.
Terang Budi, feedmill selama ini sudah berpatokan pada least cost yang paling murah. Dalam soal penghematan, feedmill dituntut untuk mampu kreatif mencari bahan baku alternatif untuk menekan biaya. ?Tidak harus yang ada dalam negeri, dari mana saja,? ujar Budi. Ia tengah giat mengenalkan DDGS (semacam ampas jagung hasil samping pengolahan ethanol) yang harganya relatif rendah. ?Cuma US$ 250/ton,? sebutnya. Beberapa feedmill yang progresif mau menggunakannya dalam jumlah tertentu dan terbukti mengurangi biaya.
Yang berikutnya, melakukan review (telaah ulang) atas batasan-batasan jumlah penggunaan bahan baku. ?Batasan kadang mengganjal, padahal secara nutrisi angkanya memungkinkan lebih besar dari angka patokan yang selama ini dianut,? jelas Budi. Ke tiga, mempertanyakan kembali seberapa jauh feedmill mampu teliti menilai kandungan nutrisi dari sebuah bahan baku. Misal bungkil kedelai yang kandungan proteinnya 48% dinilai oleh feedmill 47%. Dalam formulasi, 1% akan sangat bermakna terhadap rupiah. Ketepatan tera ini mampu mencegah dari formulasi yang ?boros?. ?Bagaimana caranya se-presisi mungkin,? tandas Budi. Kemudian soal bahan tambahan (feed additive), harus dicek kembali mana saja yang memang menguntungkan memberikan hasil signifikan pada ketersediaan nutrisi.
?Yang tidak terbukti berfungsi nyata, feedmill harus coret dari daftar,? tambahnya. Bagi imbuhan yang memang dapat memberikan penghematan melalui pengurangan bahan baku dan secara rupiah menekan biaya, tidak masalah. Tetapi sebagian imbuhan ini menurut Budi masih perlu dipertanyakan efektivitasnya dalam menekan biaya pakan. Penambahan ini bervariasi dari Rp 15 ? 100 per kg, ?Itu biaya yang harus dihitung, kalau tidak bermanfaat, keluarkan dari daftar!?
Enzim, misalnya. Harus dipertanyakan secara kritis, enzim tersebut benar-benar bekerja atau tidak terhadap bahan baku dalam pakan. Juga harus dibuktikan secara nyata enzim tersebut mampu menambah nutrisi dalam pakan yang akan diserap tubuh ayam. Budi mencontohkan enzim phytase diperlukan dan bekerja dalam pakan melepaskan fosfor dari ikatan asam phytate sehingga dapat diserap tubuh, tapi harus jeli dari sekian banyak phytase yang ada di pasaran mana yang mampu signifikan menyediakan fosfor siap serap dalam pakan. Kalau memang bekerja baik, silahkan gunakan karena akan membantu mengurangi penggunaan MCP (monocalciumphosphate) atau DCP (dicalciumphosphate) dalam pakan yang harganya cukup tinggi. Menurut dia, enzim memiliki kerja yang bervariasi dari yang bekerja baik, sedang, sampai tidak bekerja sama sekali.
Widodo baru saja memulai usaha beternak ayam pedaging (broiler). Lelaki muda asal Temanggung ini belum memiliki lahan khusus untuk bisnis barunya ini. Dia menggunakan lahan kosong di halaman samping rumahnya. Populasinya tak banyak, hanya 1000 ekor. Walau demikian, Widodo tetap was-was jika bisnisnya nanti akan ditentang warga.
Sebab, dia tinggal di pemukiman yang padat penduduk. Ini artinya, dia tak bisa sekadar mengelola limbah ternaknya sebaik mungkin agar tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Lebih dari itu, dia juga harus menekan serendah mungkin polusi udara akibat bau tak sedap yang ditimbulkan dari usaha ternaknya tersebut.
Widodo hanyalah satu dari sekian banyak peternak yang masih dipusingkan dengan masalah polusi bau. Dan ini bukan masalah sepele. Sebab jika dibiarkan berlarut-larut, bau tidak hanya akan menimbulkan masalah polusi udara, tapi juga akan menurunkan produktivitas ternaknya. Bisa-bisa sebelum mencapai untung sudah buntung duluan.
Ini sangat masuk akal. Manajer Umum PT Alltech Biotechnology Indonesia, Isra Noor menyatakan bahwa kandang yang bau biasanya disebabkan oleh kandungan amonia yang tinggi dari produksi kandang. Amonia dalam konsentrasi kecil hanya akan berdampak pada bau yang tidak sedap. Sebaliknya dalam konsentrasi besar, amonia menyebabkan persoalan pernafasan dan iritasi.
?Amonia yang tinggi di kandang akan sangat merugikan peternak karena menurunkan produksi ayam baik broiler maupun layer (petelur). Kadar amonia yang tinggi di kandang juga memungkinkan terjadinya peningkatan angka kematian akibat berbagai penyakit pernafasan,
Langganan:
Postingan (Atom)